PANCASILA,.DOGMA DAN REALITA

KASUS kelangkaan, antrian panjang,
penimbunan, penyelundupan, pengoplosan,
rencana kenaikan BBM serta ancaman wabah
flu burung sampai pada kriminalitas di
meja hukum benar-benar telah membuat
masyarakat panik. Berbagai kejadian
akhir-akhir ini membuat masyarakat
merasakan betapa negara sering tidak
bisa berbuat apa-apa untuk menolong
rakyatnya.

Keteraturan sosial (social order) sedang
terancam. Tekanan dari sisi kiri dan
kanan, atas dan bawah membuat masyarakat
tak berkutik dan semakin tak punya
banyak pilihan. Pilihan yang ada semakin
sempit. Upaya bertahan hidup saja,
terutama bagi kaum miskin di kota maupun
di desa, semakin sulit.

Selama ini empati pemerintah terlalu
lemah untuk bisa merasakan penderitaan
petani yang stress karena harga gabahnya
menurun dan harga pupuk meningkat.
Penderitaan nelayan yang tidak bisa
melaut karena mahal dan langkahnya harga
solar sementara hasil laut mereka sulit
bersaing di pasaran, dan merugi karena
diper- mainkan para tengkulak.
Penderitaan buruh yang nasibnya semakin
ternistakan karena kebijakan pemerintah,
keangkuhan pasar dan keserakahan juragannya.

Pemerintah, di tengah berbagai
pertimbangan, sulit menjadikan rasa
empati (yang dasarnya memang sudah tipis
itu) sebagai bahan pertimbangan utama
merancang kebijakan. Alih-alih justru
sering kita lihat kebijakan yang di luar
terlihat populis tetapi substansinya
menindas.

Ini terjadi di sebuah negeri yang
mengumandangkan diri sebagai negeri
reformis, negeri agamis dan menjunjung
tinggi adat ketimuran. Negeri berdasar
Pancasila, dengan dasar Ketuhanan Yang
Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan
Beradab serta Keadilan Sosial bagi
Seluruh Rakyat Indonesia.

Telah 60 tahun Pancasila dilahirkan dari
semangat terdalam bangsa ini. Melalui
pidato Bung Karno yang berkobar-kobar
pada 1 Juni 1945, Pancasila kita gali
dan lahirkan sebagai dasar-dasar
berperikehidupan dan berkebangsaan.

Selama masa Orde Baru, Pancasila
mengalami masa-masa yang sulit ketika ia
harus diperalat untuk tujuan-tujuan
pelanggengan kekuasaan. Telah 32 tahun
lebih kita hidup tidak menikmati bangsa
yang “ber-Pancasila” yang kita jadikan
sebagai pedoman berkehidupan, melainkan
kita dipaksa untuk menghapal sila-sila
Pancasila demi kekuasaan.

Masyarakat Indonesia telah lama
diperalat kekuasaan yang menggunakan
Pancasila demi kepentingan mereka
sendiri. Hal inilah yang mengakibatkan
etika elite politik kita hingga hari ini
masih diwarnai dengan etika yang jauh
nilai-nilainya dengan Pancasila.

Etika politik yang berpijak pada
Pancasila (ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, permusyawaratan dan keadilan
sosial) hancur karena politik identik
dengan uang. Uang-lah yang menentukan
segala-galanya. Ia menentukan berbagai
kebijakan publik yang dirumuskan. Jadi,
siapa tidak tahu bahwa di balik
konfrontasi di Senayan yang berebut
jabatan itu adalah sama (atau setara
dengan) perebutan uang dan akses-aksesnya.

Inilah wajah keadaban politik bangsa
ini. Uang menjadi penentu segala-
galanya dalam ruang publik. Hal ini

sangat ironis karena mengakibatkan

hilangnya iman dalam kehidupan manusia.
Iman tidak lagi menjadi sumber inspirasi
batin bagi kehidupan nyata. Iman hanya
sekadar simbol lahirilah yang menjelma
dalam ritus dan upacara. Iman tidak
terkait dengan tata kehidupan dan
akibatnya dia tidak menjiwai kehidupan
publik.

Di sini lalu kita harus bertanya lagi,
masih saktikah Pancasila kita?