Sejarah Bandung

Sejarah Bandung adalah sejarah Tatar Ukur. Keduanya memiliki hubungan historis amat dalam, yang sulit dilepaskan. Kini, 376 tahun setelah Ukur dihancurkan Susuhunan Agung Mataram, atau 198 tahun sejak Kota Bandung didirikan, episode tentang Ukur habis, tandas, nyaris tanpa jejak penanda.

HAMPIR semua historiografi tradisional yang ada, baik itu dalam bentuk cerita tutur, babad, atau naskah-naskah kuno yang ditemukan menyebut gunung Lumbung sebagai basis pertahanan terakhir Adipati Ukur saat menghadapi balatentara Mataram.

Di manakah letak tempat itu? Tidak banyak yang tahu jika gunung itu ternyata terletak di Cililin. Bahkan seorang anggota Polsek Cililin perlu bertanya dulu ke sejawatnya saat wartawan koran ini bertanya nama gunung itu dan letak lokasinya.

“Gunung Lumbung? Gununghalu kali?” kata petugas itu balik bertanya. Sebentar kemudian datang jawaban. “Oh, ya, memang ada nama itu. Tapi agak jauh dari sini (Cililin), ke arah barat,” jelasnya setelah beberapa saat kemudian.

Seorang warga Sindangkerta yang buka kios kelontongan dan bensin di tepi jalan pernah mendengar cerita-cerita tentang Dipati Ukur di sekitar daerahnya, tapi dia tidak tahu persis di mana kisah kuno itu berpusar.

“Oh, tempat petilasan Dipati Ukur, coba tanya ke Cililin sana. Kalau nggak salah di Muka Payung, tapi tanya lagi saja lah di sana,” katanya saat wartawan koran ini tersasar hingga Sindangkerta.

Nama kedua yang punya hubungan santat kuat dengan sejarah Adipati Ukur adalah Batulayang. Menemukan letak tempat ini jauh lebih mudah. Batulayang kini sebuah nama desa sekitar tiga kilometer sebelah barat alun-alun Cililin, ke arah Sindangkerta.

Posisinya ada di kaki perbukitan yang memanjang sejak memasuki Cililin dari arah simpang tiga Pataruman, atau lebih dikenal dengan sebutan pertigaan BBS dekat jembatan Citarum. gunung Lumbung lebih mudahnya berlokasi di belakang perbukitan yang memanjang di belakang desa Batulayang ini.

Bisa dicapai dari pertigaan Desa Mukapayung, sebelum jembatan yang melintas di genangan waduk Saguling. Dari pertigaan ini masuk kira-kira satu kilometer, akan ditemui pertigaan di dekat Masid Jami Desa Mukapayung. Ambil kiri ke arah Kampung Lembang.

Dari pertigaan Desa Mukapayung ini letak Kampung Lembang yang tepat di kaki Gunung Lumbung sekitar tujuh kilometer. Jalan menuju kampung ini, dan juga ke Gunung Lumbung sempit, berliku-liku, dengan tanjakan terjal, turunan tajam, tapi beraspal bagus.

Ada pertigaan sebelum Sungai Cibitung, yang ke kanan ke arah Kampung Cikoneng, yang ke kiri menuju Kampung Lembang atau gunung Lumbung. Dari kaki kampung inilah basis terakhir Adipati Ukur dan pengikutnya ini bisa dicapai.

Batulayang menjadi sangat historis karena dalam sejarahnya menjadi benteng terdepan pasukan Ukur yang berkubu di gunung Lumbung. Pasukan Mataram dibantu sejumlah pembesar dari Priangan timur mendapat perlawanan hebat di tempat ini.

Mereka mencoba menerjang dengan mendaki bukit dan gunung terjal yang di atasnya terdapat barisan pasukan Ukur. Alhasil, gerakan maju pasukan Mataram ini hancur karena mendapat serangan ganas menggunakan batu-batu yang digelindingkan dari bagian atas.

Sebagaimana Pabuntelan, gunung Lumbung kini hampir tak menyisakan jejak sejarah apa-apa. Pak Engku (60), warga Kampung Lembang yang dianggap kuncen Gunung Lumbung juga kesulitan memberikan cerita sejarah yang meyakinkan.

Diminta menceritakan pengetahuan dirinya tentang Dipati Ukur, Pak Engku malah melanturkan kisah tentang juru ukur dari Mataram yang diutus mencari lahan luas untuk olah krida. Ceritanya pun berbusa-busa penuh mitos dan legenda.

Dalam bukunya Cerita Dipati Ukur: Karya Sastra Sejarah Sunda, Prof Dr Edi S Ekadjati bercerita dirinya dan beberapa mahasiswa yang pernah naik ke puncak gunung Lumbung pada tahun 1968, 1972, dan 1979 mendapati sejumlah peninggalan purbakala.

Ada patung yang sudah tidak begitu jelas wujud ceritanya, aneka pecahan tembikar, dan tanggul-tanggul tanah yang konon bekas pertahanan Adipati Ukur dan pengikutnya. Jauh sebelum kedatangan Edi S Ekadjati, dua orang Belanda sudah mendatangi tempat ini pada tahun 1833.

Solomon Muller dan P van Oort, keduanya dalam perjalanan meneliti dunia binatang dan tumbuh-tumbuhan di wilayah tropis. Muller pernah mendapat pelatihan di Museum Leiden, sedang Oort adalah juru gambar/pelukis.

Tak hanya jalan-jalan, keduanya akhirnya mencatat dan menerbitkan cerita Dipati Ukur versi Cililin. Laporan Muller dan Oort ini tercatat sebagai karya tulis pertama yang diterbitkan yang memuat cerita tentang Dipati Ukur.

Saat ini, patung yang disaksikan Muller-Oort, dan kemudian Edi S Ekadjati dkk itu pun masih ada, pecahan tembikar juga masih bisa ditemukan di bawah timbunan tanah, tapi tanggul-
tanggul tanah bekas pertahanan sulit dilihat kasat mata.

Puncak gunung Lumbung terdiri dataran luas, yang kini dijadikan ladang pertanian Pak Engku dan warga setempat. Berada di ketinggian di atas 1.000 meter dari permukaan laut, tempat ini memang sangat ideal untuk persembunyian.

Pendakian dadakan pun terasa sangat melelahkan.
Akses masuknya sekarang ada tiga arah, dari Desa Muka Payung yang harus melewati jalanan terjal diapit lembah dan jurang terjal di barat, jalan setapak merayapi punggung perbukitan Batulayang di utara, dan jalan sempit berliku-liku ke Kampung Cibunar di timur.

Membayangkan situasi 376 tahun lalu, sungguhlah berat perjuangan mencapai tempat ini. Gunung Lumbung yang dikelilingi hutan, gunung, bukit, dan lembah curam, jalanannya pun sudah pasti sangat terjal.

Dari beberapa versi historiografi tradisional tentang Adipati Ukur, di tempat inilah pemimpin masyarakat Sunda yang berani melawan Sultan Agung ini akhirnya ditangkap. Perlawanan Ukur pun berakhir setelah melewati pertempuran dahsyat memakan korban sangat banyak.

Gaya militer Mataram yang kerap membumihanguskan setiap sasaran serangan agaknya menjawab pertanyaan mengapa jejak-jejak fisik sejarah Ukur menjadi begitu sedikitnya. Apalagi model hunian di tatar Sunda umumnya rumah panggung berbahan kayu atau bambu.(*)